Gunung Lawu

Gunung Lawu
Fantastic Mountain

dhanar

dhanar
Geologi Pertambangan
Powered By Blogger

Sabtu, 13 Februari 2010

Tumbukan


Tumbukan mengikuti hukum kekekalan momentum. Kelentingan tumbukan dipengaruhi oleh hukum kekekalan energi kinetik. Atau dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tumbukan lenting sempurna:
Tumbukan yang besar kecepatan benda sebelum dan sesudahnya sama. Contoh yang mendekati tumbukan lenting sempurna adalah tumbukan bola bekel dengan lantai.

Tumbukan lenting sebagian:
Tumbukan yang besar kecepatan benda sesudah tumbukan lebih kecil daripada kecepatannya sebelum tumbukan. Misalnya tumbukan kelereng, bola biliar, dll.

Tumbukan tidak lenting samasekali:
Tumbukan yang mengakibatkan menyatunya benda-benda yang saling bertumbukan sehingga kecepatan benda-benda sesudah tumbukan sama. Misalnya lumpur dilempar ke dinding, sesudah tumbukan lumpur nempel di dinding, kecepatan lumpur dan dinding sesudah tumbukan sama, yakni nol


TUMBUKAN LENTING SEMPURNA

Tumbukan lenting sempurna tu maksudnya bagaimanakah ? Dua benda dikatakan melakukan Tumbukan lenting sempurna jika Momentum dan Energi Kinetik kedua benda sebelum tumbukan = momentum dan energi kinetik setelah tumbukan. Dengan kata lain, pada tumbukan lenting sempurna berlaku Hukum Kekekalan Momentum dan Hukum Kekekalan Energi Kinetik.

Hukum Kekekalan Momentum dan Hukum Kekekalan Energi Kinetik berlaku pada peristiwa tumbukan lenting sempurna karena total massa dan kecepatan kedua benda sama, baik sebelum maupun setelah tumbukan. Hukum Kekekalan Energi Kinetik berlaku pada Tumbukan lenting sempurna karena selama tumbukan tidak ada energi yang hilang. Untuk memahami konsep ini, coba jawab pertanyaan gurumuda berikut ini. Ketika dua bola billiard atau dua kelereng bertumbukan, apakah anda mendengar bunyi yang diakibatkan oleh tumbukan itu ? atau ketika mobil atau sepeda motor bertabrakan, apakah ada bunyi yang dihasilkan ? pasti ada bunyi dan juga panas yang muncul akibat benturan antara dua benda. Bunyi dan panas ini termasuk energi. Jadi ketika dua benda bertumbukan dan menghasilkan bunyi dan panas, maka ada energi yang hilang selama proses tumbukan tersebut. Sebagian Energi Kinetik berubah menjadi energi panas dan energi bunyi. Dengan kata lain, total energi kinetik sebelum tumbukan tidak sama dengan total energi kinetik setelah tumbukan.

Nah, benda-benda yang mengalami Tumbukan Lenting Sempurna tidak menghasilkan bunyi, panas atau bentuk energi lain ketika terjadi tumbukan. Tidak ada Energi Kinetik yang hilang selama proses tumbukan. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa pada peritiwa Tumbukan Lenting Sempurna berlaku Hukum Kekekalan Energi Kinetik.

Apakah tumbukan lenting sempurna dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari ? Tidak…. Tumbukan lenting sempurna merupakan sesuatu yang sulit kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Paling tidak ada ada sedikit energi panas dan bunyi yang dihasilkan ketika terjadi tumbukan. Salah satu contoh tumbukan yang mendekati lenting sempurna adalah tumbukan antara dua bola elastis, seperti bola billiard. Untuk kasus tumbukan bola billiard, memang energi kinetik tidak kekal tapi energi total selalu kekal. Lalu apa contoh Tumbukan lenting sempurna ? contoh jenis tumbukan ini tidak bisa kita lihat dengan mata telanjang karena terjadi pada tingkat atom, yakni tumbukan antara atom-atom dan molekul-molekul. Istirahat dulu ah…

Sekarang mari kita tinjau persamaan Hukum Kekekalan Momentum dan Hukum Kekekalan Energi Kinetik pada perisitiwa Tumbukan Lenting Sempurna. Untuk memudahkan pemahaman dirimu, perhatikan gambar di bawah.

Dua benda, benda 1 dan benda 2 bergerak saling mendekat. Benda 1 bergerak dengan kecepatan v1 dan benda 2 bergerak dengan kecepatan v2. Kedua benda itu bertumbukan dan terpantul dalam arah yang berlawanan. Perhatikan bahwa kecepatan merupakan besaran vektor sehingga dipengaruhi juga oleh arah. Sesuai dengan kesepakatan, arah ke kanan bertanda positif dan arah ke kiri bertanda negatif. Karena memiliki massa dan kecepatan, maka kedua benda memiliki momentum (p = mv) dan energi kinetik (EK = ½ mv2). Total Momentum dan Energi Kinetik kedua benda sama, baik sebelum tumbukan maupun setelah tumbukan.

Secara matematis, Hukum Kekekalan Momentum dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan :

m1 = massa benda 1, m2 = massa benda 2

v1 = kecepatan benda sebelum tumbukan dan v2 = kecepatan benda 2 Sebelum tumbukan

v’1 = kecepatan benda Setelah tumbukan, v’2 = kecepatan benda 2 setelah tumbukan

Jika dinyatakan dalam momentum,

m1v1 = momentum benda 1 sebelum tumbukan, m1v’1 = momentum benda 1 setelah tumbukan

m2v2 = momentum benda 2 sebelum tumbukan, m2v’2 = momentum benda 2 setelah tumbukan

Pada Tumbukan Lenting Sempurna berlaku juga Hukum Kekekalan Energi Kinetik. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut :

Kita telah menurunkan 2 persamaan untuk Tumbukan Lenting Sempurna, yakni persamaan Hukum Kekekalan Momentum dan Persamaan Hukum Kekekalan Energi Kinetik. Ada suatu hal yang menarik, bahwa apabila hanya diketahui massa dan kecepatan awal, maka kecepatan setelah tumbukan bisa kita tentukan menggunakan suatu persamaan lain. Persamaan ini diturunkan dari dua persamaan di atas. Persamaan apakah itu ? nah, mari kita turunkan persamaan tersebut… dipahami perlahan-lahan ya

Sekarang kita tulis kembali persamaan Hukum Kekekalan Momentum :

Kita tulis kembali persamaan Hukum Kekekalan Energi Kinetik :

Kita tulis kembali persamaan ini menjadi :

Ini merupakan salah satu persamaan penting dalam Tumbukan Lenting sempurna, selain persamaan Kekekalan Momentum dan persamaan Kekekalan Energi Kinetik. Persamaan 3 menyatakan bahwa pada Tumbukan Lenting Sempurna, laju kedua benda sebelum dan setelah tumbukan sama besar tetapi berlawanan arah, berapapun massa benda tersebut.

Koofisien elastisitas Tumbukan Lenting Sempurna

Wah, istilah baru lagi ne… apaan sie koofisien elastisitas ? sebelum gurumuda menjelaskan apa itu koofisien elastisitas, mari kita obok2 lagi rumus fisika. Kali ini giliran persamaan 3…

Kita tulis lagi persamaan 3 :

Perbandingan negatif antara selisih kecepatan benda setelah tumbukan dengan selisih kecepatan benda sebelum tumbukan disebut sebagai koofisien elatisitas alias faktor kepegasan (dalam buku Karangan Bapak Marthen Kanginan disebut koofisien restitusi). Untuk Tumbukan Lenting Sempurna, besar koofisien elastisitas = 1. ini menunjukkan bahwa total kecepatan benda setelah tumbukan = total kecepatan benda sebelum tumbukan. Lambang koofisien elastisitas adalah e. Secara umum, nilai koofisien elastisitas dinyatakan dengan persamaan :

e = koofisien elastisitas = koofisien restitusi, faktor kepegasan, angka kekenyalan, faktor keelastisitasan

TUMBUKAN LENTING SEBAGIAN

Pada pembahasan sebelumnya, kita telah belajar bahwa pada Tumbukan Lenting Sempurna berlaku Hukum Kekekalan Momentum dan Hukum Kekekakalan Energi Kinetik. Nah, bagaimana dengan tumbukan lenting sebagian ?

Pada tumbukan lenting sebagian, Hukum Kekekalan Energi Kinetik tidak berlaku karena ada perubahan energi kinetik terjadi ketika pada saat tumbukan. Perubahan energi kinetik bisa berarti terjadi pengurangan Energi Kinetik atau penambahan energi kinetik. Pengurangan energi kinetik terjadi ketika sebagian energi kinetik awal diubah menjadi energi lain, seperti energi panas, energi bunyi dan energi potensial. Hal ini yang membuat total energi kinetik akhir lebih kecil dari total energi kinetik awal. Kebanyakan tumbukan yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam jenis ini, di mana total energi kinetik akhir lebih kecil dari total energi kinetik awal. Tumbukan antara kelereng, tabrakan antara dua kendaraan, bola yang dipantulkan ke lantai dan lenting ke udara, dll.

Sebaliknya, energi kinetik akhir total juga bisa bertambah setelah terjadi tumbukan. Hal ini terjadi ketika energi potensial (misalnya energi kimia atau nuklir) dilepaskan. Contoh untuk kasus ini adalah peristiwa ledakan.

Suatu tumbukan lenting sebagian biasanya memiliki koofisien elastisitas (e) berkisar antara 0 sampai 1. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

Bagaimana dengan Hukum Kekekalan Momentum ? Hukum Kekekalan Momentum tetap berlaku pada peristiwa tumbukan lenting sebagian, dengan anggapan bahwa tidak ada gaya luar yang bekerja pada benda-benda yang bertumbukan.

TUMBUKAN TIDAK LENTING SAMA SEKALI

Bagaimana dengan tumbukan tidak lenting sama sekali ? suatu tumbukan dikatakan Tumbukan Tidak Lenting sama sekali apabila dua benda yang bertumbukan bersatu alias saling menempel setelah tumbukan. Salah satu contoh populer dari tumbukan tidak lenting sama sekali adalah pendulum balistik. Pendulum balistik merupakan sebuah alat yang sering digunakan untuk mengukur laju proyektil, seperti peluru. Sebuah balok besar yang terbuat dari kayu atau bahan lainnya digantung seperti pendulum. Setelah itu, sebutir peluru ditembakkan pada balok tersebut dan biasanya peluru tertanam dalam balok. Sebagai akibat dari tumbukan tersebut, peluru dan balok bersama-sama terayun ke atas sampai ketinggian tertentu (ketinggian maksimum). Lihat gambar di bawah…

Apakah pada Tumbukan Tidak Lenting Sama sekali berlaku hukum Kekekalan Momentum dan Hukum Kekekalan Energi Kinetik ?

Perhatikan gambar di atas. Hukum kekekalan momentum hanya berlaku pada waktu yang sangat singkat ketika peluru dan balok bertumbukan, karena pada saat itu belum ada gaya luar yang bekerja. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut :

m1v1 + m2v2 = m1v’1 + m2v’2

m1v1 + m2(0) = (m1 + m2) v’

m1v1 = (m1 + m2) v’—- persamaan 1

Apakah setelah balok mulai bergerak masih berlaku hukum Kekekalan Momentum ? Tidak…. Mengapa tidak ? ketika balok (dan peluru yang tertanam di dalamnya) mulai bergerak, akan ada gaya luar yang bekerja pada balok dan peluru, yakni gaya gravitasi. Gaya gravitasi cenderung menarik balok kembali ke posisi setimbang. Karena ada gaya luar total yang bekerja, maka hukum Kekekalan Momentum tidak berlaku setelah balok bergerak.

Lalu bagaimana kita menganalisis gerakan balok dan peluru setelah tumbukan ?

Nah, masih ingatkah dirimu pada Hukum Kekekalan Energi Mekanik ? kita dapat menganalisis gerakan balok dan peluru setelah tumbukan menggunakan hukum Kekekalan Energi Mekanik. Ketika balok mulai bergerak setelah tumbukan, sedikit demi sedikit energi kinetik berubah menjadi energi potensial gravitasi. Ketika balok dan peluru mencapai ketinggian maksimum (h), seluruh Energi Kinetik berubah menjadi Energi Potensial gravitasi. Dengan kata lain, pada ketinggian maksimum (h), Energi Potensial gravitasi bernilai maksimum, sedangkan EK = 0.

Kita turunkan persamaannya ya ;)

Catatan :

Ketika balok dan peluru tepat mulai bergerak dengan kecepatan v’, h1 = 0. Pada saat balok dan peluru berada pada ketinggian maksimum, h2 = h dan v2 = 0.

Persamaan Hukum Kekekalan Energi Mekanik untuk kasus tumbukan tidak lenting sama sekali.

EM1 = EM2

EP1 + EK1 = EP2 + EK2

0 + EK1 = EP2 + 0

½ (m1 + m2)v’2 = (m1 + m2) g h — persamaan 2

.
contoh soal :
2 logam masing-masing 2 kg dan 4 kg.bergerak dgn kecepatan 6 m/s dan 4 m/s,dlm arah berlawanan.kemudian menumbuk logam dgn koefisien resititusi 0,8.tentukan kecepatan kedua logam setelah tumbukan?

jawab :
sebelum tumbukan 2 kg x 6 m/s = 12 kg m/s (bagian 1)
4 kg x 4 m/s = 16 kg m/s
tulis persamaan pertama : ambil salah satu tanda (-) karena berlawanan
12 - 16 = 2 v1' - 42' atau -4 = 2v1' - 4v2'
persamaan koefisien restitusi (e) = -(v2'-v1')/v2-v1 (semoga tidak kebalik)
masukkan nilai 0,8 = -(v2'-v1')/(-4-6) jadinya 0,8 = -(v2'-v1')/(-10)
-(v2'-v1') = -8 atau v1'-v2' = -8 ubah v1' = v2'-8
substitusikan ke -4 = 2(v2'-8) - 4v2'
menjadi -4 = 2v2'-48-4v2'
-4 = -2v2' - 48
48 - 4 = -2v2'
v2' = 44/-2 ; maka v2' = -22 m/s v1' = -30 m/s

selesai

Sejarah DPR


Sekilas sejarah DPR-RI dapat dilihat dalam beberapa periode penting yaitu:

A. Volksraad (1918-1942)

B. Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949)

C. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950)

D. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)

E. DPR Hasil Pemilu 1955 (20 Maret 1956-22 Juli 1959)

F. DPR Hasil Pemilu 1955 Paska-Dekrit Presiden 1959 (1959-1965)

G. DPR Gotong Royong Tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966)

H. DPR-GR Masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru

I. DPR-GR Masa Orde Baru 1966-1971

J. DPR Hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997

K. DPR Hasil Pemilu 1999 (1999-2004)

L. DPR Hasil Pemilu 2004 (2004-2009)

A. Volksraad (1918-1942)

Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan Volksraad. Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918).

Volksraad dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) dengan dilakukannya penambahan bab baru yaitu Bab X dalam Regeerings Reglement 1954 yang mengatur tentang pembentukan Volksraad. Pembentukan tersebut baru terlaksana pada tahun 1918 oleh Gubernur Jeneral Mr. Graaf van Limburg Stirum.

Kaum nasionalis moderat, seperti Mohammad Husni Thamrin, menggunakan Volksraad sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka melalui jalan parlemen.

Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.

A.1. Pengisian Jabatan dan Komposisi

Pemilihan orang untuk mengisi jabatan Volksraad diawali dengan pembentukan berbagai “Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota”, di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal.

Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang (termasuk ketua), dengan perimbangan:

a. Dari jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia Asli melalui “Wali Pemilih” dari “Dewan Provinsi” berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh “Wali Pemilih” dan 5 orang diangkat oleh Gubernur Jenderal)

b. Jumlah terbesar, atau 23 orang, anggota Volksraad mewakili golongan Eropa dan golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur Jenderal (9 orang dipilih dan 14 orang diangkat).

c. Adapun orang yang menjabat sebagai ketua Volksraad bukan dipilih oleh dan dari anggota Volksraad sendiri, melainkan diangkat oleh mahkota Nederland.

Tahun 1927:

Ketua: 1 orang (diangkat oleh Raja)

Anggota: 55 orang

(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 25 orang)

Tahun 1930:

Ketua: 1 orang (diangkat oleh Raja)

Anggota: 60 orang

(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 30 orang)

Muncul beberapa usul anggota untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu ditolak. Salah satunya adalah “Petisi Sutardjo” pada tahun 1935 yang berisi "permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak pemerintah kolonial Belanda.

A.2. Tugas Volksraad

Volksraad lebih mengutamakan memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal daripada “menyuarakan” kehendak masyarakat. Karena itu, Volksraad sama sekali tidak memuaskan bagi bangsa Indonesia. Bahkan, “parlemen gadungan” ini juga tidak mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara sehingga tidak mempunyai kekuasaan seperti parlemen pada umumnya.

Sesuai dengan perkembangan politik di Indonesia, perubahan sedikit demi sedikit terjadi di lembaga ini. Perubahan yang signifikan terjadi pada saat aturan pokok kolonial Belanda di Indonesia, yaitu RR (Regeling Reglement, 1854) menjadi IS (Indische Staatsregeling). Perubahan ini membawa pengaruh pada komposisi dan tugas-tugas Volksraad.

Perubahan sistem pemilihan anggota terjadi sejak 1931. Sebelumnya, semua anggota Volksraad yang dipilih melalui satu badan pemilihan bulat, dipecah menjadi tiga badan pemilihan menurut golongan penduduk yang harus dipilih. Selain itu, diadakan pula sistem pembagian dalam dua belas daerah pemilihan bagi pemilihan anggota warga negara (kaula) Indonesia asli.

Berbagai tuntutan dari kalangan Indonesia asli semakin bermunculan agar mereka lebih terwakili. Sampai 1936, komposisi keanggotaan menjadi:

· 8 orang mewakili I.E.V. (Indo Eurupeesch Verbond)

· 5 orang mewakili P.P.B.B.

· 4 orang mewakili P.E.B. (Politiek Economische Bond)

· 4 orang V.C. (Vederlandisch Club)

· 3 orang mewakili Parindra

· 2 orang mewakili C.S.P (Christelijk Staatkundige Partj)

· 2 orang mewakili Chung Hwa Hui (Kelompok Cina)

· 2 orang mewakili IKP (Indisch Katholieke Partj)

· 4 orang mewakili golongan Pasundan, VAIB (vereeniging Ambtenaren Inl. Bestuur), partai Tionghoa Indonesia

· 5 orang mewakili berbagai organisasi yang setiap organisasi mendapat satu kursi yaitu organisasi sebagai berikut: 1 (Persatuan Minahasa); 1 (Persatuan Perhimpunan katoliek di Jawa), 1 (persatuan kaum Kristen), 1 (Perhimpunan Belanda); 1 (Organisasi Wanita I.E.V)

Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.

B. Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949)

Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia.

Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang, tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak enam kali. Dalam melakukan kerja DPR, dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU, di samping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain.

C. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950)

Sebagai konsekuensi diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), diadakan perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat. Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

C.1. DPR-RIS

Jumlah anggota DPR terdiri dari 146 orang yang mewakili negara/daerah bagian dengan perincian sebagai berikut:

a. Republik Indonesia 49 orang

b. Indonesia Timur 17 orang

c. Jawa Timur 15 orang

d. Madura 5 orang

e. Pasundan 21 orang

f. Sumatera Utara 4 orang

g. Sumatera Selatan 4 orang

h. Jawa Tengah 12 orang

i. Bangka 2 orang

j. Belitung 2 orang

k. Riau 2 orang

l. Kalimantan Barat 4 orang

m. Dayak Besar 2 orang

n. Banjar 3 orang

o. Kalimantan Tenggara 2 orang

p. Kalimantan Timur 2 orang

DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. DPR-RIS juga berwenang mengontrol pemerintah, dengan catatan presiden tidak dapat diganggu gugat, tetapi para menteri bertanggung jawab kepada DPR atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.

Di samping itu, DPR-RIS juga memiliki hak menanya dan menyelidik. Dalam masa kerjanya selama enam bulan, DPR-RIS berhasil mengesahkan tujuh undang-undang.

C.2. Senat-RIS

Keanggotaan Senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu masing-masing dua anggota dari tiap negara/negara bagian. Secara keseluruhan, cara kerja Senat RIS diatur dalam Tata Tertib Senat RIS.

D. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)

Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara kesatuan. Pada tanggal yang sama, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:

1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi;

2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

D.1. Keanggotaan DPRS

Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari Dewan Pertimbangan Agung.

Fraksi di DPRS (menurut catatan tahun 1954):

1. Masjumi 43 orang

2. PNI 42 orang

3. PIR-Hazairin 19 orang 22 orang

4. PIR-Wongso 3 orang

5. PKI 17 orang

6. PSI 15 orang

7. PRN 13 orang

8. Persatuan Progresif 10 orang

9. Demokrat 9 orang

10. Partai Katolik 9 orang

11. NU 8 orang

12. Parindra 7 orang

13. Partai Buruh 6 orang

14. Parkindo 5 orang

15. Partai Murba 4 orang

16. PSII 4 orang

17. SKI 4 orang

18. SOBSI 2 orang

19. BTI 1 orang

20. GPI 1 orang

21. Perti 1 orang

22. Tidak berpartai 11 orang

D.2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPRS

a. Kedudukan dan Tugas DPRS

DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. Selain itu, dalam pasal 113-116 UUDS ditetapkan bahwa DPR mempunyai hak menetapkan anggaran negara. Seterusnya dalam Pasal 83 ayat (2) UUDS ditetapkan bahwa para menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri. Ini berarti DPR berhak dan berkewajiban senantiasa mengawasi segala perbuatan pemerintah.

b. Hak-hak dan Kewajiban DPRS

(i) Hak Amandemen

DPR berhak mengadakan perubahan-perubahan usul UU yang dimajukan pemerintah kepadanya.

(ii) Hak Menanya dan Hak Interpelasi

DPR mempunyai hak menanya dan hak memperoleh penerangan dari menteri-menteri, yang pemberiannya dianggap tidak berlawanan dengan kepentingan umum RI.

(iii) Hak Angket

DPR mempunyai hak menyelidiki (enquete) menurut aturan-aturan yang ditetapkan UU.

(iv) Hak Kekebalan (imunitet)

Ketua, anggota DPR dan menteri-menteri tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena apa yang dikemukakan dalam rapat atau surat kepada majelis, kecuali jika mereka mengumumkan apa yang dikemukakan dalam rapat tertutup dengan syarat supaya dirahasiakan.

(v) Forum Privelegiatum

Ketua, wakil ketua, dan anggota DPR diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi oleh MA, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan UU dan yang dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan UU.

(vi) Hak mengeluarkan suara.

D.3. Hubungan DPRS dengan pemerintah

Sama halnya dengan UUD RIS, UUDS juga menganut sistem pemerintahan parlementer. DPRS dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya. Namun berbeda dengan ketentuan dalam UUD RIS, UUDS memasukkan pula ketentuan bahwa presiden dapat membubarkan DPRS, kalau DPRS dianggapnya tidak mewakili kehendak rakyat lagi.

D.4. Hasil-hasil pekerjaan DPRS

a. menyelesaikan 167 uu dari 237 buah RUU

b. 11 kali pembicaraan tentang keterangan pemerintah

c. 82 buah mosi/resolusi.

d. 24 usul interpelasi.

e. 2 hak budget.

E. DPR Hasil Pemilu 1955 (20 Maret 1956-22 Juli 1959)

DPR hasil Pemilu 1955 berjumlah 272 orang. Perlu dicatat bahwa Pemilu 1955 juga memilih 542 orang anggota konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi Indonesia yang definitif, menggantikan UUDS.

Tugas dan wewenang DPR hasil Pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan, karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, memberi gambaran bahwa pemerintah merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat tuga kabinet yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo, dan Kabinet Djuanda.

F. DPR Hasil Pemilu 1955 Paska-Dekrit Presiden 1959 (1959-1965)

Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan menyatakan bahwa Indonesia kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 2959. Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI.

Dengan Penpres No. 3 tahun 1960, presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Setelah membubarkan DPR, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-Gotong Royong (DPR-GR).

DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada presiden pada waktu-waktu tertentu. Kewajiban ini merupakan penyimpangan dari Pasal 5, 20, dan 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat.

G. DPR Gotong Royong Tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966)

Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa kerjanya satu tahun, mengalami empat kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu:

a. Periode 15 November 1965-26 Februari 1966.

b. Periode 26 Februari 1966-2 Mei 1966.

c. Periode 2 Mei 1966-16 Mei 1966.

d. Periode 17 Mei 1966-19 November 1966.

Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih berstatus sebagai pembantu presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum dicabut.

H. DPR-GR Masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru

Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk membentuk dua panitia:

1. Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik.

2. Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan, bertugas memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya.

I. DPR-GR Masa Orde Baru 1966-1971

Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, DPR-GR masa “Orde Baru” memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari “Orde Lama” ke “Orde Baru.”

Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 adalah sebagai berikut:

1. Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.

2. Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya.

3. Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7.

J. DPR Hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997

Setelah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan “Orde Baru” akhirnya berhasil menyelenggarakan Pemilu yang pertama dalam masa pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.

Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.

Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan (sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Sistem yang sama masih terus digunakan dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Sejak Pemilu 1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru” tergabung dalam Golkar. Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus dalam lima kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak.

Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.

K. DPR Hasil Pemilu 1999 (1999-2004)

DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, masyarakat terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan untuk mempercepat Pemilu tersebut membuahkan hasil.

Pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, Pemilu untuk memilih anggota legislatif kemudian dilaksanakan. Pemilu ini dilaksanakan dengan terlebih dulu mengubah UU tentang Partai Politik (Parpol), UU Pemilihan Umum, dan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk), dengan tujuan mengganti sistem Pemilu ke arah yang lebih demokratis. Hasilnya, terpilih anggota DPR baru.

Meski UU Pemilu, Parpol, dan Susduk sudah diganti, sistem dan susunan pemerintahan yang digunakan masih sama sesuai dengan UUD yang berlaku yaitu UUD 1945. MPR kemudian memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Ada banyak kontroversi dan sejarah baru yang mengiringi kerja DPR hasil Pemilu 1999 ini.

Pertama, untuk pertama kalinya proses pemberhentian kepala negara dilakukan oleh DPR. Dengan dasar dugaan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik (oleh media massa populer sebagai “Buloggate”), presiden yang menjabat ketika itu, Abdurrahman Wahid, diberhentikan oleh MPR atas permintaan DPR. Dasarnya adalah Ketatapan MPR No. III Tahun 1978. Abdurrahman Wahid kemudian digantikan oleh wakil presiden yang menjabat saat itu, Megawati Soekarnoputri.

Kedua, DPR hasil Pemilu 1999, sebagai bagian dari MPR, telah berhasil melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, (pertama), 2000 (kedua), 2001 (ketiga), dan 2002 (keempat). Meskipun hasil dari amandemen tersebut masih dirasa belum ideal, namun ada beberapa perubahan penting yang terjadi. Dalam soal lembaga-lembaga negara, perubahan-perubahan penting tersebut di antaranya: lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lahirnya sistem pemilihan presiden langsung, dan lahirnya Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, dari sisi jumlah UU yang dihasilkan, DPR periode 1999-2004 paling produktif sepanjang sejarah DPR di Indonesia dengan mengesahkan 175 RUU menjadi UU. Meski perlu dicatat pula bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan PSHK tingginya kualitas ternyata tidak sebanding dengan kualitas (Susanti, dkk, 2004).

L. DPR Hasil Pemilu 2004 (2004-2009)

Amandemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999-2002 membawa banyak implikasi ketatanegaraan yang kemudian diterapkan pada Pemilu tahun 2004. Beberapa perubahan tersebut yaitu perubahan sistem pemilihan lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan adanya presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Dalam Pemilu tahun 2004 ini, mulai dikenal secara resmi lembaga perwakilan rakyat baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR merupakan representasi dari jumlah penduduk sedangkan DPD merupakan representasi dari wilayah. Implikasi lanjutannya adalah terjadi perubahan dalam proses legislasi di negara ini.

Idealnya, DPR dan DPD mampu bekerja bersama-sama dalam merumuskan sebuah UU. Hanya saja karena cacatnya amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, relasi yang muncul menjadi timpang. DPR memegang kekuasaan legislatif yang lebih besar dan DPD hanya sebagai badan yang memberi pertimbangan kepada DPR dalam soal-soal tertentu.

Informasi lebih lengkap mengenai keanggotaan, alat kelengkapan, dan lain-lain khusus untuk DPR periode ini, dapat ditemukan dalam artikel lainnya dalam parlemen.net yang mengenai DPR.

Jumat, 12 Februari 2010

Sistem pemerintahan negara indonesia pada periode 27 desember 1949 – 17 agustus 1950

Sistem pemerintahan negara indonesia pada periode 27 desember 1949 – 17 agustus 1950


Sistem pemerintahan negara indonesia pada periode 27 desember 1949 – 17 agustus 1950 adalah sistem parlementer, kekuasaan kedaulatan menurut konstitusi RIS dilakukan oleh pemerintah bersama – sama DPR dan senat. Senat adalah perwakilan negara atau daerah bagian, dan DPR yang beranggotakan 150 orang mewakili seluruh indonesia, alat – alat perlengkapan negara menurut konstitusi RIS 1949 yang termuat dalam ketentuan umum meliputi :

1. Presiden

2. Menteri – menteri

3. Senat

4. Dewan Perwakilan Rakyat

5. Mahkamah Agung Indonesia

6. Dewan pengawas keuangan

Pemerintahan menurut konstitusi RIS adalah presiden dengan seorang atau beberapa orang menteri yakni menurut tanggung jawab umum dan tanggung jawab khusus mereka. Dalam menjalankan pemerintahan negara, presiden tidak dapat diganggu gugat karena sebagai kepala negara.

Sistem pertanggung jawaban menteri yaitu menteri harus mengundurkan diri apabila pertanggung jawabannya tidak diiterima DPR, namun selama berlakunya konstitusi RIS hal itu belum pernah terjadi. Sebagai kelengkapan negara yang berbentuk pemerintah republik dengan sistem pemerintahan parlementer, pada 20 desember 1949 dilangsungkan upacara pelanntikan Drs. Moh. Hatta sebagai perdana menteri yang merangkap sebagai menteri luar negeri

Dengan demikian kepala pemerintahan dijabat oleh perdana menteri, perdana menteri merupakan pimpinan kabinet atau dewan menteri, dan kabinet bertanggung jawab kepada badan perwakilan atau parlemen.

Sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam UUDS 1950, tanggal 17 agustus 1950 sampai 5 juli 1959 indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam UUDS presiden hanya presiden hanya sebagai kepala negara, sedangkan kepala pemerintahan dijabat oleh perdana menteri.

Alat – alat perlengkapan negara menurut UUDS 1950 pasal 44 terdiri dari :

1. Presiden dan Wakil Presiden

2. Menteri – menteri

3. Dewan Perwakilan Rakyat

4. Mahkamah Agung Indonesia

5. Dewan Pengawas Keuangan

Presiden dan wakil presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat diganggu gugat, yang bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan ialahmenteri baik secara bersama – sama untuk seluruhnya maupun masing – masing untuk bagiannya sendiri.

Dan sebagai pertimbangan pertanggung jawaban menteri – menteri dalam hal per bedaan pendapat antara pemerintah dan DPR, presiden berhak membubarkan DPR. Keputusan yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula mengadakan pemilihan DPR dalam waktu 30 hari.

Kekuasaan perundang – undangan dalam sistem UUD sementara dilakukan oleh pemerintah bersama – sama DPR, oleh sebab itu wajar jika dalam sistem UUD sementara, undang – undang tidak dapat diganggu gugat. Pemerintahan parlementer dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Kepala negara bukan penyelenggara kekuasaan pemerintahan, oleh karena itu tidak dapat diganggu gugat.

2. Pemerintahan diselenggarakan oleh dewan menteri atau kabinet dengan perdana menteri sebagai ketua.

3. Kekuasaan perundang – undangan dilakukan oleh pemerintah bersama – sama dengan Badan Perwakilan Rakyat

.